Alasan pengunduran diri itu tidak akan keluar dari lisan orang-orang yang syahwat kekuasaannya sangat kuat. Maknanya, itu berarti Harsoyo memahami betul bahwa jabatan Rektor merupakan amanah berat yang sedang dipikulnya
Dunia pendidikan tinggi di tanah air kembali tercoreng. Universitas yang seharusnya menjadi benteng terakhir moral bangsa 'roboh' karena kelalaian segelintir sivitas akademikanya. Kematian ketiga mahasiswa UII yang diduga kuat akibat tindak kekerasan yang dilakukan panitia diksar Mapala UII di Gunung Lawu itu diakui secara kesatria oleh Rektor. Karena kekerasan mengiringi kegiatan diksar, Rektor pun mempersilakan kepolisian menginvestigasi lebih lanjut.
Peristiwa tragis itu tentu saja sangat memukul pucuk pimpinan UII, terutama Rektor Harsoyo. Langkah sigap pun diambil Harsoyo untuk menuntaskan kasus kekerasan yang membelit, dan mencemarkan nama baik institusinya. Tanpa tedheng aling-aling pernyataan pers menyebutkan pengungkapan insiden tersebut terus dilakukan bersama pihak berwajib, demi kelancaran penyidikan tragedi Gunung Lawu.
Perasaan empati dan aksi simpatik pun dicurahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga korban, untuk meringankan beban psikis dan material mereka. Klimaksnya, Harsoyo dengan penuh kesadaran menyatakan pengunduran diri sebagai Rektor UII periode 2014-2018. Langkah itu diambil sebagai bentuk pertanggungjawaban moral atas insiden memilukan itu.
Di sisi lain ada hal yang menarik dan tidak jamak dilakukan umumnya petinggi di negeri ini, yakni Harsoyo mempertegas alasan pengunduran dirinya lantaran merasa gagal memimpin. Beratnya pertanggungjawaban dunia-akhirat, dan beliau meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia karena telah mencemarkan dunia pendidikan yang semestinya lekat denga keluhuran akal (intelektual) dan budi pekerti insan kampus.
Alasan pengunduran diri itu tidak akan keluar dari lisan orang-orang yang syahwat kekuasaannya sangat kuat. Maknanya, itu berarti Harsoyo memahami betul bahwa jabatan Rektor merupakan amanah berat yang sedang dipikulnya, dan melepaskannya kembali pada saat yang tepat dan dibutuhkan. Bukan 'aib' yang bisa meruntuhkan marwah seorang pejabat, tetapi justru mencerminkan kuatnya karakter pemimpin.
Batemen dan Snell (2008) mengidentifikasi pemimpin seperti Harsoyo dengan sebutan pemimpin etis, yakni pemimpin berintegritas yang mempengaruhi bawahannya untuk bertindak etis. Hosmer (2003) dalam karyanya The Etic of Management memandang bahwa pemimpin etis selalu berupaya mengambil keputusan etis. Sementara filsuf John Rawis menyatakan bahwa hanya seseorang yang tidak peduli dengan 'identitas'-nya yang dapat benar-benar dapat mengambil keputusan yang sepenuhnya etis.
Keteladanan yang menyentak sanubari siapa saja yang 'menyembul' aroma rebutan kekuasaan pada setiap periode pemilihan Rektor (pilrek). Bahkan Ombudsman (2016) menengarai adanya praktik jual beli suara pada pilrek di PTN. Dan pilrek itu layaknya pertarungan politik.
Oleh: Imron Rosyadi, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Suka Yogyakarta.
Oleh: Imron Rosyadi, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Kandidat Doktor Ekonomi Islam UIN Suka Yogyakarta.